Akhir-akhir ini viral beberapa kasus bullying atau perundungan yang menyita perhatian publik. Pelaku dan korban beragam, mulai kalangan pelajar sampai pada profesi tertentu. Mirisnya, sebagian besar kasus bullying melibatkan usia remaja dan bahkan masih menempuh pendidikan di bangku SMP dan SMA.
Bullying itu sendiri dapat diartikan sebagai tindakan yang tidak menyenangkan atau intimidasi yang dilakukan dari pihak yang lebih kuat terhadap pihak yang lebih lemah secara berulang – ulang dilakukan dengan sengaja dan bertujuan untuk melukai korbannya secara fisik maupun emosional (Australia : Blackwell, 1994).
Dari Pemaknaan di atas dapat diPahami bahwa bullying bukan hanya sesuatu yang mengarah pada gangguan secara fisik, tetapi juga gangguan secara psikis. Jika ditarik mundur, bullying sejatinya bukan hal baru dalam pergaulan remaja atau kehidupan pada umumnya.
Sebutlah kebiasaan memanggil kawan dengan nama orang tuanya atau dengan ciri khas fisik tertentu. “Pemanggilan” tersebut kebanyakan tidak menimbulkan dampak negatif yang signifikan. Seiring bergantinya generasi, justru pada generasi digital inilah, bullying menggurita dengan efek yang tidak terbayangkan.
Generasi digital sebagai digital native, mereka terbiasa dengan akses digital sejak kecil, hidup di era dimana informasi dan edukasi begitu mudah dijangkau, tetapi menjadi sasaran empuk untuk mudah melakukan perundungan di satu sisi, dan di sisi lain menjadi begitu sensitif dengan perkataan orang lain dan memilih jalan pintas alih – alih membuktikan bahwa dia bisa lebih baik.
Pertanyaan yang muncul adalah mengapa hal itu bisa terjadi? Apakah generasi kita sekarang kehilangan suri tauladan? Apakah pendidikan tidak mampu menjadi benteng penjaga untuk mereka?
Berikut ini sederet faktor penyumbang suburnya bullying pada remaja di usia sekolah:
1. Rendahnya Kontrol Diri dan Rasa Tanggung Jawab
Kontrol Diri dan tanggung jawab menjadi hal penting yang harus diajarkan kepada anak/remaja sedini mungkin. Dengan ini, mereka dapat mengontrol emosi dan menjaga perilaku.
Remaja dengan tingkat kontrol diri yang rendah dan kurang tanggung jawab akan cenderung melakukan tindakan represif ketika mereka merasa kecewa.
Rendahnya sikap ini juga menyebabkan remaja dengan kekurangan tertentu mudah risau dan gelisah. Padahal menjaga emosi untuk tidak mudah terpuruk juga menjadi tanggung jawab setiap individu.
2. Bullying Sebagai Bentuk Balas Dendam
Dalam beberapa Kasus, tindakan perundungan yang dilakukan terjadi karena pelaku adalah korban dari perundungan sebelumnya. Dia merasa sakit hati namun tidak mampu membalas, sehingga kemudian menjadi pelaku bully berikutnya, kepada seseorang yang lebih lemah.
Hal ini yang marak terjadi di lingkungan sekolah dengan dalih senioritas. Kasus – kasus senioritas membuktikan bahwa bagaimanapun telah terjadi perundungan sejak lama, yang juga menambah daftar panjang betapa pendidikan masih belum bisa menyelesaikan hal-hal tertentu.
3. Pengaruh Media Sosial
Saat ini media sosial menjadi isu krusial di kalangan remaja. Kebutuhan untuk belajar hingga eksistensi diri dapat dipenuhi melalui media sosial dalam genggaman mereka. Dari sekedar mencari tempat nongkrong yang asik sampai mengerjakan tugas, gadget dan media sosial menjadi tumpuan para remaja.
Mereka menjadi malu bertanya yang sekaligus mengurangi kemampuan komunikasi mereka. Pemenuhan kebutuhan yang serba cepat membentuk mereka menjadi pribadi yang individualistis dan kurang empati. Di sisi lain kemudahan akses dalam satu genggaman memang mempermudah proses. Ironisnya, membuat mereka mudah curhat di media sosial, semakin jauh dari keluarga dan lingkungan, serta rawan menjadi korban perundungan tanpa keberanian melawan.
—
Benang kusut Bullying / Perundungan sudah sepatutnya menjadi permasalahan bersama yang harus dicarikan solusinya. Dunia pendidikan harus mampu menjadi tameng dan benteng yang melindungi remaja agar tidak menjadi pelaku maupun korban perundungan.
Pembentukan tim pendampingan di sekolah penting untuk dilakukan meskipun pada sekolah tersebut masih jarang atau tidak ada kasus bullying. Peranan orang tua juga penting untuk terus mengawasi kegiatan putra putri mereka terutama dalam penggunaan sosial media.
Bagaimanapun, keluarga harus menjadi sebaik-baiknya tempat berkeluh kesah, dan tempat kembali yang aman, ketika anak-anak kita membutuhkan.
Artikel ini sangat menarik, memang perundungan ini dari dulu menjadi momok menyeramkan disekolah. Guru dan orang tua harus bekerjasama dalam mencarikan solusi ini…