Kampanye di Sekolah Ancam Keberagaman di Institusi Pendidikan
Keputusan Mahkamah Konstitusi yang memungkinkan peserta pemilu untuk berkampanye di institusi pendidikan telah menjadi perbincangan hangat. Namun, perdebatan ini bukanlah hal baru, sebagaimana yang di ungkapkan oleh Neni Nur Hayati. Isu ini selalu muncul pada setiap pemilu.
Kampanye di Sekolah, Tergantung Tingkat Pendidikan
Neni Nur Hayati, Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, menyatakan bahwa ia dapat menerima jika kampanye di lakukan di tingkat SMU, terutama untuk siswa-siswa kelas 11 atau kelas 2 SMA. Namun, ia menekankan perlunya mengatur standar operasional dan prosedur (SOP) yang jelas terkait hal ini oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Dampak Negatif Kampanye di Sekolah
IGI, organisasi guru dengan anggota yang beragam, menggelar penilaian tajam terhadap izin kampanye di sekolah yang di berikan oleh MK. Mereka dengan tegas menyatakan bahwa kampanye di sekolah akan merusak keberagaman, terutama di kalangan siswa yang belum berhak memilih, dan bahwa perlu tindakan untuk melindungi sekolah dari campur tangan politik praktis. Danang Hidayatullah, Ketua IGI, menegaskan bahwa meskipun kampanye tetap bisa di lakukan oleh mereka yang berhak memilih, sekolah harus tetap menjadi lingkungan netral dan terbebas dari politik.
Bac Juga : Ternyata! Inilah Tingkat Literasi Siswa SMA di Indonesia Tahun 2023, Hasil Mengejutkan…
Risiko Identifikasi Politik Sekolah oleh Danang Hidayatullah
Danang dan Neni sepakat bahwa ada sejumlah alasan di balik pandangan mereka. Pertama, mereka khawatir tentang kemungkinan banyak calon legislatif yang akan mencoba memasuki sekolah-sekolah, yang dapat menyebabkan potensi konflik. Kedua, jika diizinkan, ini dapat menciptakan dinamika kekuasaan yang tidak sehat.
Keduanya juga menyatakan keprihatinan serupa terhadap dampak kampanye politik di sekolah. Mereka menganggapnya berpotensi mengganggu keberlangsungan pendidikan, terutama dalam konteks pemilu yang cepat dan penuh kepentingan politik. Mereka khawatir sekolah akan terseret ke dalam politik praktis dan kehilangan netralitasnya, yang dianggap berbahaya.
Danang menggarisbawahi bahwa IGI tidak menentang demokrasi di sekolah, namun ia percaya bahwa masyarakat mungkin belum siap melihat kampanye politik di lingkungan pendidikan. Selain itu, ia juga mencatat risiko bahwa sekolah dapat di identifikasi dengan afiliasi politik tertentu jika hanya satu partai yang di izinkan masuk tanpa ada partai lain yang berkesempatan, yang bisa memengaruhi persepsi orang tua saat penerimaan siswa baru.
Baca juga : Rapor Pendidikan Menjadi Kunci Transformasi Pendidikan Indonesia Masa Depan
Politik Uang dalam Kampanye Pemilu
Selain itu, Neni juga menyoroti kenyataan bahwa dalam kampanye politik, calon atau partai politik umumnya memberikan berbagai macam insentif, mulai dari stiker hingga uang. Ia berpendapat bahwa dalam konteks ini, masyarakat Indonesia terkadang lebih mementingkan hal-hal materi daripada ideologi politik.
Berdasarkan hasil penelitian DEEP Indonesia, Neni menyatakan bahwa pemilih Indonesia terkadang masuk dalam kategori “moral hazard pemilih.” Mereka tahu bahwa politik uang tidak seharusnya dianut, tetapi masih menerima uang atau insentif lainnya dari calon atau partai politik. Hal ini dapat mengganggu ketenangan dalam lingkungan sekolah jika kampanye politik di lakukan di sana.
Antusiasme dan Keprihatinan
Siswa SMU yang sudah memenuhi syarat usia untuk memilih umumnya sangat antusias mengikuti pemilu, namun mereka juga memiliki keprihatinan tentang dampak negatif dari kampanye politik di sekolah. Gangguan terhadap proses pembelajaran adalah salah satu hal yang menjadi perhatian mereka, yang juga di ungkapkan oleh ketua IGI, Danang Hidayatullah.
Baca juga : Jumlah Pendaftar CPNS dan PPPK Ratusan Ribu, BKN Beri Data Lengkapnya
Pengajaran Real-Time Politics
Menurut Ricky Moris, ketua OSIS SMA Bina Nusantara Bekasi, pengajaran tentang politik dunia nyata mungkin cocok untuk siswa tingkat senior. Namun, sebelum mencapai tingkat tersebut, siswa yang masih berada di tingkat lebih rendah mungkin tidak siap menerima pengaruh unsur-unsur politik di sekolah, terutama di sekolah-sekolah umum yang mencakup jenjang pendidikan mulai dari SD, TK, hingga SMP.
Mengatur Kampanye di Institusi Pendidikan
Kini, KPU memiliki tanggung jawab utama dalam mengatur batasan dan ketentuan terkait kampanye politik di institusi pendidikan. Hingga saat aturan operasional yang tegas di rumuskan, Neni dan Danang sepakat dengan pandangan Ricky, yaitu menunda kampanye politik di lingkungan sekolah jika memungkinkan.
Baca juga : Projek P5 Kewirausahaan Digital Berbasis Affiliasi